Total Pengunjung Blog

Arsip Blog

Pengikut

Popular Posts

Minggu, 03 April 2011

Jember, Jawa Timur! Dengan kecepatan 100 km/jam, bus membawaku ke daerah itu. Duduk seorang diri, sambil mengumpat dalam hati kepada orang di depanku yang tak tahu diri, merokok seenak hati. Tepat saat rokok orang didepanku habis, pengamen terminal mulai mengucapkan salam dalam bahasa pantun dimana akhir kata dilantunkan memanjang, unik, lucu, dan khas “mohon permisiiiii…kami mau bernyanyiii…untuk menggembirakan hatiiii…mohon dinikmatiii…dan jangan lupa kasih moneiiii……!”Tak lupa, Dia tersenyum menunjukan gigi hitamnya. Pantun itu mampu menarik perhatian para punumpang yang sibuk dengan pikiran masing – masing. Petikan gitar khas pada lagu bento, mengawalinya, vokal yang mirip sekali dengan iwan fals terlantun dalam lidah pengamen tersebut. Eka ayuthaya hanif putra, Dalam bus ini, diiringi lagu-lagu Iwan Fals, ku awali sebuah cerita kehidupanku, untukmu.

Eka Ayuthaya Hanif putra, saat kutulis buku ini, mungkin kau masih terpejam dan tentunya bacaan yang baru bisa kau baca hanyalah bacaan alam, nafasmu, dan kasih sayang seluruh elemen hidupmu, karena usiamu baru genap lima hari. Usiaku waktu ini 22 tahun, 2 Juni 2010 lalu genapnya. Berapa usiamu saat membaca buku ini, Ayuthaya? Masih tujuh hari Eka! Untuk itu, aku awali cerita ini, tentang masa kecilku, untukmu, ayuthaya.

Waktu kecil, rumahku berada di Tepian Sungai Progo. Sungai pemisah antara Kabupaten Bantul dan Kulon Progo. Konon kata Eyangku sungai ini terjadi setelah dilalui seekor Baruklinting, salah satu putra dari Ki Ageng Mangir Wanabaya I yang berwujud Naga. Sungai terlebar di Pulau Jawa inilah yang menjadi tonggak penghidupan warga di desa kami termasuk keluargaku, baik menambang pasir maupun bercocok tanam di lahan kosong tak terpakai. Sungai inilah latar kehidupan masa kecilku. Sebuah kenangan mahal tak terjualkan. Bukan hanya keindahan eka, namun juga kenangan dimana aku hampir mati.

Setiap hari, kehidupan anak – anak tepian sungai, tak lekat dari yang namanya bermain dengan sungai itu, bersendagurau, bercengkerama dengan bagian dari mereka, air, pasir, ikan, biawak, ular, kepiting, palawija, pulau pasir, dan suara mistis reok di tiap malamnya. Suara mistis? Ya eka! Janganlah terheran – heran seperti itu, karena setiap malamnya suara itu selalu muncul. Jangan tanya kenapa kami tak mencari sumber suara itu eka! Menurut cerita eyang kakung, warga kami telah berkali – kali mencari sumber suara itu, namun yang mereka temukan setelah di dekat suara itu, hanyalah gundukan pulau pasir yang kosong, hanya batu – batu dan tanaman palawija yang ada di situ. Eyang kung ku menambahkan cerita sambil mulai melebay – lebaykan nadanya, “Kowe ngerti bocah - bocah!!!”. “enggeh eyang!”, ujarku. “Suoro reog kuwi mau jebul san di tilek i karo eyang canggahmu sing sekti, kuwi sumber re seko pesisir kono”. “ enggeh nopo mbah??” aku waktu itu antusias sekali mendengarnya. “Iyo…..!!!, jare simbah canggah biyen, suaro reog kuwi mau gameli reog cilik. Nah…sing joget sopo? Kuwi bocah sing jam songo durung bobo, di culik, di gowo mrono , di pekso njoget!”. “Inggeh simbah?, nek ngoten kulo tak bobo sak niki geh mbah! Engko ndak di gondol!, aku wedi e mbah!”. Ujarku waktu itu ketakutan. “eits…tunggu sek…kuwi sing kaping siji. Akeh – akeh he bocah sing durung turu jam songo mau dadi kethek…Nah..tapi ono sing luweh ngeri maneh! “. “wah, menopo meleh mbah?mosok sampun medeni, kok taseh wonten ingkang medeni maleh!”. “iyo…!!pancen kuwi le! Sing luwih ngeri maneh, bocah sing bobo kok kebablasen ngelewat ke dedongo lan sholat ing sepertelu wengi marang gusti Alloh”. “Lha!!tenan niku mbah?”Ngeri ne nopo mbah?. “ iyo..tenan, sing luwih ngeri, dewe e bakal dadi buto cakil lan lambene ra mbalek tetep mrongos”. “waduh…tenan mbah…nek ngoten aku wedi mbah.!aku di keloni simbah mawon geh mbah, mangkeh njur di gugah jam tigo”.

Sungguh efektif sekali cerita simbah ini hingga terbawa sampai sekarang, meskipun aku juga tahu eka bahwa sebenarnya bukan itu yang simbah maksud. Tapi tahukah eka, selain tidur jam sembilan dan bangun sholat malam, apa yang aku dapat dari eyang tadi? Pasti engkau tak menyangka eka, aku mendapat bahan ledekan baru ke teman ku yang bernama wahyu. Masih bingung eka? Bahan ledekan itu karena wahyu memiliki mulut mrongos dan gigi tonggos sehingga aku dan kawan – kawanku sering meledeknya bahwa dia pernah jadi buto cakil di pesisir.

***

Di sungai ini, aku juga pernah hampir mati, eka! Untung ada seorang tukang becak menolongku. Ceritanya seperti ini, Di sungai progo kedalaman tiap wilayahnya tidaklah sama. Kedalamannya bisa dilihat dari riak air yang mengalir. Jika air mengalir secara tenang berarti wilayah itu dalam dan begitu juga sebaliknya, jika air mengalir deras dan seperti terhambat – hambat , berarti aliran air itu dangkal. Masksimal mencapai betis. Waktu itu aku masih kelas empat SD. Aku bersama Mas Fitri (tetanggaku yang usianya satu tahun lebih tua daripada aku) sedang memancing. Cara kami memancing beda Eka, dengan orang – orang lainnya. Cara kami memancing ya ikut nyemplung ke sungai, dan mencari daratan yang di tengah – tengahnya terdapat palung, kata mas fitri ikannya lebih banyak daripada yang di air mengalir. Aku percaya saja, dan memang iya eka, kami memperoleh hasil yang lumayan banyak, berupa kutuk dan badher. Aku senangnya bukan main

Tiba – tiba saja aku teringat bahwa hari itu adalah hari selasa. Hari itu jam empat, kami semua anak – anak satu kelurahan pasti berkumpul di rumah pak lurah untuk menyaksikan film kesukaan kami, Satria baja hitam RX yang lagi seru – serunya karena kotaro minami sudah bisa berubah menjadi RX bio dan RX robo. Aku berteriak pada mas fitri, “mas ayo mantuk, aku arep nonton satria baja hitam e!!”. mas fitri yang lagi asik menunggu kail -yang lagi di ‘enduk’ ikan -tak menjawab karena mungkin pikirannya takut ikannya lari jika ia bersuara. Aku panggil berulang kali, tetap saja dia fokus dengan kailnya. Tak sabar aku menunggunya, akhirnya nekat menyeberang ke tepian. Pikiranku saat itu tidak lagi tentang dimana alur penyeberangan yang benar , tetapi sudah tak sabar untuk bernyanyi bersama kawan – kawan lainnya serentak menyanyikan lagu opening satria baja hitam RX saat film dimulai. Aku semrawut dan sedikit terburu – buru agar segera sampai tepi sungai. Saat berada di tengah aliran sungai, aku tak melihat bahwa ternyata depanku adalah aliran tenang. Aku terus melangkah dan blep! aku tenggelam. Pertama kali ketika aku tenggelam, air terminum banyak sekali, hidung pun terikut kemasukan air. Aku kaget dan nafasku ikut tertahan. Aku mencoba naik ke permukaan, bukan hirupan udara yang aku gunakan, tapi tangan ku ulurkan keatas sambil berusaha berteriak meminta tolong. Bukan teriakan yang keluar, malah kemasukan air lagi, karena saat aku membuka mulut badanku sudah mulai tenggelam lagi. Berkali – kali timbul-tenggelam, aku tak sempat berteriak. Selalu saja air sudah masuk ke kerongkongan. Aku paksakan untuk berteriak, tapi pada akhirnya penuh sudah ususku yang panjang nya bermeter – meter dengan air. Aku lemas, dan hampir tak muncul lagi. Mataku gelap, petang tapi terkadang ada putih – putih , gelap lagi, lalu putih terang dan gelap.

 

****

Rumahku masih terbuat dari gedhek, yakni ayaman bambu yang telah di bilah tipis – tipis. Atapnya terbuat dari jerami kering yang ditumpuk rapi, membuat siang hari menjadi tempat paling sejuk meskipunn diluar terik, dan malam hari tempat terhangat meskipun diluar dingin menggigil. Tepat di depan rumahku terlihat merapi dan merbabu berjajar lantang meng “gagahi”Jembatan Srandakan. Tiap rumah hanya terpasang satu bohlam 5 watt diluar dan 10 watt di dalam rumah. Untuk menambah penerangan, kami menggunakan teplok yang dipakukan secara permanen ke “soko” rumah. Sangat sederhana eka, tapi ada yang sangat istimewa dengan rumahku. Rumahku di bangun berpondasikan kekuatan cinta warga desa, bergotong royong. Kami membuat semua rumah tanpa memerlukan arsitek maupun tenaga kuli dengan bayaran mahal. Tau kamu Eka gotong royong? Mungkin kamu pernah mendengarnya sewaktu gurumu menerangkan satu bab dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia atau PPKn, tapi aku sangsi jika kamu mengalami seperti apa gotong royong yang sesungguhnya. Betapa hebatnya Gotong Royong , Eka!. Bayangkan saja, kami bisa membangun langsung beberapa rumah hanya dalam tempo satu minggu. Kami bekerja sama, saling membantu, tanpa mengharapkan imbalan. Semua elemen masyarakat ikut serta Eka, mulai dari anak usia SD, anak SMP, anak SMA, bapak-bapak sampai ibu-ibu saling membantu, tentunya dengan porsi masing-masing. Oh iya Eka, di Desa ini, anak SD, sudah pandai mengecat, memaku, dan membuat gedhek lho! Bagaimana dengan Eka ? Sudah sejauh mana pengembangan diri Eka? Pelajaran pertama buat Eka, manfaatkanlah waktumu untuk mengembangkan dirimu. Cobalah hal – hal baru yang bermanfaat untuk bekalmu nanti (entah kapan itu, pasti bermanfaat!). Jangan pernah malu oleh ejekan orang- orang disekitarmu, jika hal yang engkau lakukan itu bermanfaat bagi dirimu. Ingat, banyak ilmuwan yang ditertawakan oleh orang lain sebelum ilmuwan ini menemukan penemuan yang merubah dunia ini. Jangan pernah berkata”ini salah!, jangan!!, Tidak Bisa!!”. Lakukan hal – hal yang mungkin bisa kamu lakukan, dan tekunilah mimpi yang menurutmu mustahil, tak ada mimpi yang mustahil di dunia ini jika kamu bersungguh – sungguh.

Kembali ke Gotong royong Eka, Pada saat gotong royong itu, semuanya bekerja, terlihat Si SD membawakan paku maupun alat – alat perkakas yang digunakan si Bapak. Sementara itu, si SMP menyangga tangga yang dinaiki oleh si bapak. Si SMA di sampingnya bapak, memegangi soko yang mau disambungkan ke engsel soko satunya, dan masih banyak pekerja yang melakukan dengan penuh suka rela. Saat tiba waktunya istirahat, semua warga bersuka cita, karena di bawah pohon ringin telah tersedia seduhan teh dan pacitan karya ibu – ibu dan para gadis perawannya. Mereka tertawa puas, saat kerjaannya telah jadi. Tertawa lebar semua warga sambil berceletuk “omahmu wis dadi, sip, mantep !!”Mereka puas bersama – sama, dan merasa memiliki. Itulah kehebatan sebuah gotong royong yang kini habis termakan oleh nilai-nilai antisosial, kapitalis, dan tak acuh. Bagaimana dengan lingkungan Eka saat membaca buku ini? Masih adakah gotong royong? Kehebatannya bukan sekedar membuat sebuah rumah, tapi lebih dari itu, membuat sebuah rasa saling memiliki, saling mengenal, dan saling berbagi.

****

Di rumah gedek itu, aku mendengar samar – samar bacaan qur’an dari kakakku, Fatimah anwar. Seindah apa bacaannya eka? Aku yakin suaminya kelak tak akan menyesal mempersunting dia. Selain kakakku, masih banyak lagi orang yang membaca qur’an, namun jelas bukan tandingan kakakku. Di rumah ukuran 4 x 2 itu, sesak dipenuhi oleh dengung – dengung qur’an.

Tubuhku terbujur kaku di rumah gedek itu. Tak bernyawa? Berkain kafan? Berbentuk pocong? Tidak eka, aku masih bernyawa. Hanya kaku, mungkin akibat terlalu memaksakan untuk tidak tenggelam. Hai!!aku segera tersadar eka dan beradaptasi dengan suara – suara qur’an itu. Taukah eka pertanyaan pertama ketika aku sadar?. “siapa yang menyelamatkan aku!”, Bukan seperti itu eka yang aku tanyakan. “Jam piro mbak?” aku bertanya kepada kakakku. Fatimah pun menjawab, “jam sekawan sore theng!”. Aku segera terhenyak dari pembaringan dan berlari keluar rumah, kakakku dan semua orang kaget. kakakku berteriak, “Njliteng arep nang endi?”. “Dari luar sambil berlari tergopoh - gopoh aku menjawab, “kelurahan mbak, nonton satria baja hitam!”.

 

bersambung………….di Eka Ayuthaya Hanif Putra part 2

4 komentar:

Wasnaker mengatakan...

Sibuk kerjo tapi masih sempet yo awakmu nulis. Panjang lagi. Jgn sampe hilang tulisanmu. Suatu saat tulisan ini akan menjadi sejarah panting bagi kelangsungan hidupmu. Hoho

itheng mengatakan...

hehehe....iyo lik...berkat dirimu...tambah semangat aku nulis...

"Cerita ini lebih dari itu, cerita ini aku tuliskan untuk cucuku,dan cucu kalian kelak. Aku tak ingin cucuku lebih mengenal kehidupan soekarno, soeharto, habibi, gusdur, mega dan SBY daripada aku. Aku tak ingin dia lebih menikmati keindahan novel karya andrea hirata daripada cerita – cerita kakeknya. Aku tak ingin dia lebih menikmati tukikan dan ramuan kata – kata Dewi lestari dalam perahu kertas miliknya daripada kelugasan bahasa kakeknya. aku tak ingin dia lebih mengikuti pola pikir cak nun daripada pola pikir kakeknya sendiri. aku tak ingin dia lebih tahu tentang pikiran demokrasi yang tidak pernah bisa membentuk suatu kemandirian bangsa daripada pikiran kakeknya sendiri.dan aku tak ingin cucuku, lebih mengikuti alur pramodya ananta tour daripada kakeknya sendiri.

Anonim mengatakan...

oiyo itheng cemani.....anakq ki celukane ayuth, dudu eka lho. hayow diganti kabeh ben tambah apek. trus meskipun novel ini semacam tulisan oto biografi, namun alangkah lebih baik jika pilihan nama orang itu dipilih yang sesuai dengan ceritamu yang ndeso itu. misalnya, parto klewer, joyo brengkal, mbok jem, pak paijo brengos, opo piye lah....

itheng mengatakan...

mas hanif--hehehe....yoh yoh..sarannya tak tampung..akan tak olah menjadi hal yang lebih kreatif daripada sekedar mengubah...nantikan selanjutnya..yow...parto de gama