Total Pengunjung Blog

Arsip Blog

Pengikut

Popular Posts

Rabu, 13 April 2011

  

   Malam ini malam minggu, jalan – jalan sesak dipenuhi oleh para muda mudi. Ada yang berkelompok, lebih banyak yang berduaan. Sebagian berhenti ditepi jalan remang, mencoba untuk bercumbu, sebagian besar lagi berbonceng di motor berjuang melawan kemacetan untuk menuju tempat percintaan mereka. Yang wanita menjadi tas punggungnya para pria, yang pria pun beraksi melakukan apa yang bisa ia lakukan, double produktif. Itulah pemandangan keramaian sepanjang malioboro pada malam minggu hari sabtu. Kebiasaan ku pada malam itu, malam minggu hari sabtu, tak lain tak bukan bercumbu dengan keramaian.

     Menggunakan sepeda jengki pinjaman ibu kos yang baik hati, aku meniti hati, untuk berinteraksi, mengasah jiwa kepemimpinan pribadi. Kali ini, rencana hari sabtu malam minggu, aku kan berinteraksi dengan penjaja hati maupun diri di malam hari menjelang pagi.

 

     Ku sandarkan sepeda di pagar besi pintu masuk istana presiden yang ada di Yogyakarta, untuk menunggu malam hari menjelang pagi. Saat itu, menarik sekali untuk menikmati penjaja sate cilacap asli korban urbanisasi. Sumini, seusia denganku, namun wajah cantik tak akan nampak di kulit yang tak terawat. Kepulan asap kunikmati sambil menanti malam hari menjelang pagi. Ku coba untuk berinteraksi, benar sudah, sumini ini memang korban urbanisasi. Ku coba tanya kembali, tentang apa – apa yang ada di dalam hati Sumini. Seperti biasa, sama semua, orang – orang kaum bawah. Sama saja, baik dia korban urbanisasi, ataupun korban gagalnya pendidikan negeri, sama – sama, keluhan yang ada di hati.

    

     Hanya 1 jam man aku ngrusuhi Sumini, sudah banyak informasi. Dari system antrian  pengamen yang muter, siang hari sumini buruh cuci, ditinggal suami,hingga anak pertamanya yang mati.

   

    Memang hanya 1 jam man saja aku ngrusuhi sumini, tapi…di dalam hati, sudah cukup untukku menambah khasanah diri, bersumberkan informasi, satu lagi para kaum urbanisasi. Ku beri dia uang lima ribu, sebagai pengganti informasi, serta sate yang manis sekali.

  

    Kuambil sepeda  menuju ke utara, mengayuhnya menuju pasarnya para wanita, yang terkadang Tuhan murka. Daerah pasar kembang…kembangnya jogja kata orang – orang, Dolinya jogja, dan lokalisasinya jogja. Berdebar hatiku, perlu kudinginkan dengan es batu angkringan tenda biru dekat gang saru. Di dalam tenda itu, selain Penjual angkringan, sudah terduduk wanita berpakaian bermotif singa, dengan paha terlihat merona, menggoda setiap pria, termasuk perjaka seperti saya. Berusaha ramah kepada penjual angkringan, ku paksa untuk tersenyum meskipun hati ini berdebar keras, tak bermental ternyata saya sebagai seorang perjaka. “es teh setunggal bapak!”. Tersenyum bapak sambil mengangkat tangannya, mempersilahkan saya duduk di sebelah wanita yang terduduk. Aku pun mulai dengan proses penetrasi, basa basi, hingga akhirnya nanti mengorek informasi. Tersenyum kepadanya, sambil menyapa. Tak kusangka – sangka, dia membalas sapa, bahkan reaksi yang lebih, bertanya kepada saya,”dari mana mas kok nyepeda?”. Ku taksir, kutara, dan ku tebak, usianya lebih dari 25 tahun namun belum genap 30. Suaranya indah, harumnya pun aku mengenalinya, bukan sembarang parfum murahan, aku tahu wanginya, My glow nya jennifer lopez jika tak salah. “ku jawab dengan seramah mungkin dan ku balik bertanya kepada wanita berpaha merona yang tak layak duduk di kursi angkringan berwarna. “saking mlampah – mlampah mbak, lha mbak?”. Tepat seperti dugaanku, dia tak mampu berbahasa jawa, maka aku tersenyum dan membenarkan kata – katanya. “dari jalan – jalan mbak, darimana mbak asal, kok g bisa bahasa jawa?”. tersenyum dia membalas senyumku, kali ini lebih ramah dan lebih mewabah. Kali ini sudah mampu aku mengatur tempo pembicaraan, bahkan bercanda pun mampu aku atur, kapan tertawa dan kapan aku berbicara. Dia lebih suka berbicara daripada saya yang itupun memang saya sengaja. Entah darimana dan dari siapa kami berbicara, mulailah dia mengeluh tentang sepinya jasa profesi. Dia menyebut jasa profesinya dengan sebutan “inap”. Dia pun bercanda denganku, “untuk mas, g mungkin kan menginap?”. Kami pun tertawa hingga merantas malam jam dua. Dia meminta izin untuk keluar dari tenda dan mulai menawarkan penginapan. sebelum dia keluar, dia berkata kepadaku, “mas….jangan sampai terlibat, dan cepat capatlah bertobat, kiamat sudah dekat”. Ku balik bertanya, “kenapa mbak?”. “Sarkem sekarang sepi, jasa inap pun, malam minggu pun, secantik aku pun, di sarkem sekali pun, tak seramai dulu”. Dia menambahkan “sekarang, inap pun tak harus bayar, gratis pun bisa…aku masih punya harga diri, tapi para pemudi, itulah yang murah sekali”.

 

 

aku terpaku….dia pergi berlenggak – lenggok….apa yang terjadi ???Di hari ini….

 

Yogyakarta, 13 April 2011.

di ilhami oleh petualangan ku mencari – cari makna hidup dan kehidupan.

5 komentar:

Anonim mengatakan...

hahaha..lucu sekaliiii....

Anonim mengatakan...

menggelikan.hahaaa

Wasnaker mengatakan...

Hmmm.... Km beruntung, Ndi. Aku bolak-balik Sarkem pengen lihat2 dan cari informasi aja ga pernah dapat. Masuk lewat gang2nya berkali-kali tapi ga pernah ada yg menawari. Mungkin wajahku terlihta alim sekali ya... Haha. Kapan2 ngajak aku nek mrono. Sapa tw pas bareng awakmu aku ditawari :)

itheng mengatakan...

maliq--sebuah sastra itu tidak musti menulis kenyataan, terkadang, inspirasi muncul dari kenyataan meskipun tak nyata. begitulah kiranya cerita ini ku buat...menggabungkan hal - hal yang nyata, menjadi lebih nyata.

Rinda mengatakan...

Hihihi... aku kemarin (malam rabu) juga "wawancara" dengan mereka-mereka, tapi bukan di sarkem.. di kawasan pantai parang kusumo. Memang kebanyakan dari mereka berasal dari luar daerah sini, jadi cuma merantau.. MasyaAllah, aku baru tau, ternyata tak mahal mereka menjajakannya. Astaghfirullah..
Aku juga mendekati bapak2 juru kunci di kawasan cempuri pantai parang kusumo, mengorek info ritual 'pemujaan' ratu kidul.. Ironisnya,kompleks ritual itu bersebelahan dengan masjid, dan entah aku tak paham dengan bahasanya mengistilahkan ritual itu dengan dalih "perantara berdoa pada Tuhan", bahkan bapak itu mengaku seiman dengan aku. (Wua...malah curhat.. hehe)


Matur nuwun...