Total Pengunjung Blog

Arsip Blog

Pengikut

Popular Posts

Jumat, 15 April 2011

Kali ini aku akan bercerita, tentang rasa beratku….rasa beratku yang menimpa banyak mahasiswa desa seperti aku.

 

     Delapan tahun yang lalu, seorang anak desa, kulit dekil, hitam, kecil, kurus kerempeng, hidup lagi, entah suatu kebetulan atau suatu keajaiban atau justru suatu keberuntungan mampu membuat suatu kebanggaan bagi warganya. Suatu kebanggaan yang tidak hanya dirasakan oleh orang tuaku saja, namun hampir seluruh RTku, tepatnya di dusun Klampok, Brosot. Ya kawan, anak desa itu aku, Andy Eko Wibowo.

 

    Kebanggaan yang ku berikan sesungguhnya bukan hal istimewa bagi kalian, namun ini adalah suatu hal besar yang terjadi di dusun kami. Kebanggaan itu adalah lolosnya aku dalam tes masuk SMA 1 Teladan Yogyakarta. Bayangkan kawan, dari 2.500 pesaing di seantero Negeri Indonesia, aku mampu menembusnya. Masih ingat benar, bahwa aku masuk peringkat 88. Bayangkan kawan, orang desa yang saat tes pun gemetaran akibat diseluruh ruangan itu kebanyakan dari SMP 5 dan SMP 8. orang desa yagn bahkan pada saat pulang dari tes itupun, kebingungan mau pulang menggunakan apa karena telah kehabisan bus, telah diterima di SMA itu. Sungguh kawan, lututku pun tak mampu  bergerak jika ingat saat itu. dan aku bersyukur, karena kenekatanku membuahkan hasil.

    Kali ini, bukan masa SMA yang akan aku ceritakan. Namun gejolak sosial yang terjadi setelah itu.

 

    Ku kabarkan berita diterimanya aku kepada Bapak dan ibuku, lewat wartel yang jika kalian mencarinya saat ini, tak mungkin menemukannya, tergeser oleh kepraktisan blackberry. Ekspresi saat aku mengabarkannya, sungguh jika hanya ditulis melalui tanda petik dua dan tanda seru, tak mungkin terdiskripsikan. Ku berikan kata kunci saja, “Mrinding”, “ndredeg”, “dada panas”, “gagap”, dan “gagap tak mampu mengontrol bicara saat mendengar suara ibu di dalam telepon”.

***

Sampai dirumah pukul 21,00. Lagi – lagi tak mendapatkan bus. Namun kali ini,  aku sudah tahu arah, aku berjalan kaki menuju pojok beteng. Di sana masih ada sisa – sisa bus jurusan bantul-brosot.   Semakin bus membawaku dekat dengan rumah, semakin kakiku kaku linu. “Tugu-tugu, teriak kenek bus!!”. “Bergetar mrinding seluruh badan. SUara itu menghidupkan bulu kuduk di segala kuduk kulitku duduk. Aku turun, berjalan, berjalan. Inginku cepat, inginku berlari, namun linu lututku membuatku tak berijin untuk lari. Bapakku tergopoh – gopoh menyusulku setelah melihatku dari kejauhan. Aku pun berusaha mempercepat jalanku, hingga akhirnya linu lututku menyerah dan mengizinkan ku berlari. Bapakku berlari cepat hingga saatnya aku dihampirinya. aku pun memeluknya, bapakku pun memeluk ku lebih erat, lebih erat….erat sekali. Aku menangis, haru. Bapakku menggendongku menuju rumah. Badanku tak memperlambat larinya. DIdepan rumah ternyata tidak hanya ibuku, bahkan seluruh tetangga dekat kami, datang. Ibuku memelukku, erat, sesaat setelah bapakku menurunkanku di hadapannya. Kali ini ibuku yang menangis, sedangkan aku tersenyum nyaman dan tentram. Sungguh, saat itulah hari kemenanganku. Merasakan sebuah kemenangan, pencapaian hebat bagiku. Setelah itu, seluruh tetanggaku bergantian menyalamiku, sambil mengatakan puji – pujian dan selamat yang penuh harap agar aku mampu menjadi orang yang pintar.

 

****

 

Semakin lama, karena kesibukan sekolah dan  tidak menetapnya diriku di desa, menjadikan aku  tak pernah lagi  menjamah masjid desa, menjadikan aku tak pernah lagi  bermain – main dengan para sahabat di desaku. Segala yang tak pernah lagi ini, menyebabkan  rasa kebanggaan warga desa  semakin tak terasa di dalam dada.

 

tak pernah lagi aku melihat pertandingan bola untuk mendukung team Indonesia Muda. Tak pernah lagi, aku menjamah desaku, desa kelahiranku. Terlalu asik dengan ilmu, terlalu asik dengan prestasi, terlalu asik dengan masa depan, terlalu asik dengan wawasan.

 

Tiga tahun kemudian, Gadjah mada pun menggantikan SMA 1 sebagai rumah pertamaku, dan tetap saja menduakan rumahku yang didesa. Aku saat itu telah lupa, darimana asalku. Ilmuku melupakan Nomer RWku. Kesibukan Praktikum menggantikan waktuku untuk ronda malam. Mengerjakan Laporan menggantikan waktu sujudku di masjid desa.

Semakin lama, semakin malas menghadiri undangan-undangan karang taruna, dan semakin rajin aku mengapelkan diri ke dunia hedonisme. semakin malas aku berinteraksi dengan kawan – kawan lama, dan semakin rajin aku berhura – hura menghabiskan waktu yang tersisa. Karena yang ada, saat ada disana, aku  gagu, menjadi orang asing di daerah asalku sendiri.

Hari wisuda pun meresmikan gelar sarjana di belakang namaku, Andy Eko Wibowo, s.farm. Sarjana lulusan universitas tertua di indonesia. Salah satu universitas yang katanya sering memunculkan pemikir – pemikir bangsa.

 

Pada saat itu, Tak ada yang hebat seperti saat aku diterima di SMA 1 Yogyakarta. Tetangga – tetangga hanya tersenyum, ber “say hay good bay” saja. Tak ada yang istimewa seperti yang lalu.

 

Saat itulah baru terasa, aku mulai merasakan kesalahan – kesalahan yang benar- benar harus aku tebus. Saat itulah aku mulai memahami apa yang selama ini terjadi. Saat itulah aku mulai tahu dan mengevaluasi. Ketemu bagaimana runtutan – runtutan kesalahan yang ada dalam diri ini.

ternyata tetangga – tanggaku benar –benar berharap kepadaku, agar saat nanti, aku mampu menjadi pencerah desaku. agar suatu saat nanti, dapat menyelesaikan masalah – masalah yang saat ini dianggap sebagai hal wajar. harapan - harapan besar itu tertaut saat aku diterima di SMA dan terkecewakan setelahnya.

 

Sudah hampir 23 tahun aku hidup, dan sudah hampir berbulan – bulan aku menyandang gelar sarjana farmasi. Namun apa yang bisa aku berbuat??apa diriku bermanfaat?? sama sekali tidak……

inilah nasib kehidupan para remaja sarjana muda…yang telah lupa untuk berkarya di desa mereka. Memikirkan diri sendiri, untuk kehidupannya dan kemudian mencari dambaan hati. cukup sehati, lalu siklus hidup pun terjadi.

lahir, sekolah, kuliah, kerja, menikah, lahir, sekolah, kerja, menikah…………

 

ku tuliskan ini, untuk mengajak para sarjana yang berasal dari desa, menilik kembali cita – cita mereka, agar mampu membangun desa mereka terlebih dahulu sebelum mengobsesikan cita –cita individunya. Pemikiran kita sangat dibutuhkan disana.

 

Nb:aku bukan pengangguran…namun kontribusiku untuk desaku, belum ada sama sekali. Ku tak tahu, kenapa ke”gagu” an ini mampu menyerangku saat di desaku.

ku tulis ini, saat proyek sabun cuci piring cair mulai ingin aku cetuskan, ingin ku buat di desaku atas nama karang taruna pemuda desa namun gagu, tak mampu bersosialisasi. ku tulis ini pula, saat aku mempersiapkan presentasi di markas Dompet Duafa untuk proyek kewirausahan bagi para pemulung di daerah kawasan Ledok Timoho.

 

sudah saatnya sarjana kembali ke desa.

 

tulisan ini ku dedikasikan juga untuk sahabatku yang hari ini berulang tahun….Maulana Fazrulloh..

“akan aku bertanya, kapan idealisme akan terwujud, jika belum kau implementasikan dari hal yang kecil sejak sekarang?? dan ayo kita buktikan siapa yang lebih dulu mampu mewujudkan idealisme – idealisme yang sering kita bualkan!!!”

8 komentar:

feraamelia mengatakan...

ngebaca judulnya langsung pengen ngebaca..

sama kayak aku, mas.
aku juga wong ndesooooo dan menjadi orang pertama di desaku yang sekolah di SMA 1. Selama sekolah dan kuliah jadi jarang berbaur dengan warga sekitar rumah . Akhir akhir ini baru mulai kembali untuk mengabdi di masyarakat.

Rinda mengatakan...

Alhamdulillah, aku termasuk anak kecil semester 4 yang insyaAllah kuat untuk mudik 2 kali seminggu untuk mengabdikandiri di desa. Hehe...

Dulu saat masih sekolah justru aku kuper dan tak pernah "srawung", dan sekarang aku mengerti bahwa keAkselerasian, kejuaraan, prestasi sekolah yang lain itu semua tak cukup untuk membuatku mampu memajukan kampung halamanku. Kini aku belajar bersosialisasi, menanggalkan jabatan "kuper". Hihihii...


Semangat!! :)

*terimakasih, numpang curhat. haaha

prim mengatakan...

aq juga wong ndeso...sepertinya semua yg di kota berasal dari desa, entah langsung atau tidak langsung...
aq dari desa...dan bangga dikatakan orang desa...selalu jatuh cinta dg desa....ada kearifan yg tidak kutemukan di kota...desaku pun juga harus maju..sama seperti desa-desa yg lain dan kota tentunya...
doakan ya kawan, tidak hanya omong doang....harus direalisasikan^^

sungguh, UGM itu kampus kerakyatan...adanya UGM ya buat rakyat...semua rakyat tanpa terkecuali...

Rinda mengatakan...

wua...jadi ini perkumpulan anak UGM ya? Hehe.. Aku UNY lho... (penting ya? haha)

itheng mengatakan...

rinda--alhamdulilah...hehehe....mungkin kamu bisa lebih hebat rind, heheh, g kok>...ini perkumpulan orang indonesia, bahkan yang access ada yang dari eropa dan amerika (berasal dari statistik record blog viewer, hehehe).
Prim--yup..semangat prim..meskipun saat ini , aku merasa aku masih gagal dalam mengimplementasikan itu..huff..berat banget pokoknya!!

Rinda mengatakan...

Subhanallah.... Dahsyat! Semangat...!

Anonim mengatakan...

aku juga lahir di desa...lahir di desa kecil tempat mamaku lahir...selanjutnya aku pindah2 mengikuti tempat dimana papaku kerja...saking seringnya pindah sampe aku bingung klo ditanya aku asalnya dari mana dan juga aku gak punya kenangan indah bersama warga seperti anda ceritakan...

beruntung sekali ya bisa merasakan hal seperti itu, bisa memberikan kebahagian ke orang banyak...mekipun sempat kebahagiaan itu redup tapi akan lebih mudah untuk membangun kembali...

tetep semangat mas itheng....

Unknown mengatakan...

mas , mau tanya ya .
minta tlg share cara pembuatan sabun cuci piring yg aman dan bisa lolos dr dinkes dong mas .makasiih