Total Pengunjung Blog

Pengikut

Popular Posts

Selasa, 10 Mei 2011

Ayuthaya, ketika aku menulis ini, Kondisiku oper dari Surabaya ke Jember. Kernet Bus menawarkan kepada kami untuk mencarikan bus, agar kami tak termakan calo. Niat yang baik bukan, Eka? Tetapi apakah aku langsung percaya? Jelas tidak, tetapi aku mencoba memberikan pengujian kepada kernet, apakah dia dapat menjadi orang yang bisa kupercaya. Memang sengaja, untuk aku tulis dalam buku ini. kuberikan sejumlah uang yang dia minta dengan dalihnya dia yang akan mencarikan bus  untuk menuju jember. Biarlah, aku ikhlas. Aku biarkan dia mencarikan kami bus. Ketika kami mendapatkan bus, kami disuruh naik. Ujarnya, “Urusan bayar biar saya saja yang uruskan, kalian naik saja.” Tentunya dengan logat madura. Aku mulai meragukan orang itu, dan ternyata benar, setelah naik, aku dimintain bayaran lagi oleh kernet bus yang baru.

Ayuthaya, yang ingin aku ajarkan padamu, pada generasimu, adalah bukanlah menjadi pembohong. Tapi yang ingin kau ketahui adalah  bukan salah mereka, mereka menjadi seperti itu, tapi salah sebuah sistem yang mendidik kernet bus itu, sistem yang konon menjadikan kehidupan di dunia ini keras, serta tak mengenal lagi halal dan haram. Nanti di cerita selanjutnya, akan kuceritakan pengalaman tentang bagaimana aku bisa benar-benar menghargai tentang halal-haramnya suatu barang, tentunya cerita tentang pengalamanku ini tak bolehlah kau tiru.

 

Semoga saja, di generasimu, sistem ini sudah mampu kami perbaiki, sehingga kalian akan hidup tanpa kejamnya dunia. Kami di sini juga masih mencari sosok pemimpin seperti Pak Lurah, baik kepala negara, wakil rakyat, maupun semua perangkat pemerintahan. Namun aku dan generasiku sadar, bahwa orang itu tak akan pernah ada jika kami hanya mencari dan terus mencari. Oleh karena itu, generasiku mulai sadar untuk tidak mencarinya, namun mulai membentuk sosok Pak Lurah itu, membentuk dari diri pribadi kami masing-masing. Kami berharap saat engkau telah dewasa, generasiku adalah pemimpin generasimu yang menunjukkan bagaimana cara membangun negeri ini.

 

Ayuthaya, kami sadar, bahwa rakyat miskin takkan hilang di muka bumi ini, tapi kami mulai sadar pola fikir seseorang agar ia tidak mau mengakui dirinya miskin yang harus diubah. Karena engkau tau? Definisi mampu? Definisi kaya? Allah memberikan ketetapan bahwa muslim yang mampu wajib menunaikan ibadah haji. Lantas apa engkau tidak bertanya siapa sajakah yang mampu itu? Orang yang mampu itu bukan orang yang kaya menurut data RT, dan orang yang miskin/tidak mampu itu bukan orang yang terdata sebagai keluarga miskin di pedukuhan. Itu hanya sebuah perbandingan. Tapi definisi mampu di sini, menurut Allah, adalah orang yang punya kemauan. Kurang paham ? Oke, aku berikan gambaran. Kusadurkan cerita yang aku dapat dari kaskus.( http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1812147)

 

Jawaban Elegan dari seorang tukang bakso

Di suatu senja sepulang kantor, saya masih berkesempatan untuk ngurus tanaman di depan rumah, sambil memperhatikan beberapa anak asuh yang sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai. Hujan rintik rintik selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini.

Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor,...terdengar suara tek...tekk.. .tek...suara tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka keringat..., ku hentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok bakso setelah menanyakan anak - anak, siapa yang mau bakso ?

"Mauuuuuuuuu. ...", secara serempak dan kompak anak - anak asuhku menjawab.

Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya. ...

Ada satu hal yang menggelitik fikiranku selama ini ketika saya

membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng. Lalu aku bertanya atas rasa penasaranku selama ini.

"Mang kalo boleh tahu, kenapa uang - uang itu Emang pisahkan? Barangkali ada tujuan ?" "Iya pak, Emang sudah memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya sederhana saja, Emang hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak Emang, mana yang menjadi hak orang lain / tempat ibadah, dan mana yang menjadi hak cita -cita penyempurnaan iman ".

"Maksudnya.. ...?", saya melanjutkan bertanya.

"Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. Emang membagi 3, dengan pembagian sebagai berikut :

1. Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari - hari Emang dan keluarga.

2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso, Emang selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja.

3. Uang yang masuk ke kencleng, karena emang ingin menyempurnakan agama yang Emang pegang yaitu Islam. Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu, untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar. Maka Emang berdiskusi dengan istri dan istri menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini, Emang harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi Emang dan istri akan melaksanakan ibadah haji.

Hatiku sangat...... .....sangat tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si emang tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki.

Terus saya melanjutkan sedikit pertanyaan, sebagai berikut : "Iya memang bagus...,tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya....".

Ia menjawab, " Itulah sebabnya Pak. Emang justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini. Karena definisi mampu bukan hak pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI.

Definisi "mampu" adalah sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, "mampu", maka Insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita".

"Masya Allah..., sebuah jawaban elegan dari seorang tukang bakso".

Spoiler for kesimpulan:

Berterimakasihlah pada orang-orang kecil yang memberikan teladan dan menebarkan harapan perbaikan hidup pada kita. Mereka tiang penyangga yang menahan langit dari keruntuhan. Mereka peredup terik mentari kehidupan yang ada kalanya terasa panas membakar.....

 

Hebat bukan!….mang tukang bakso. Aku berharap, di era kepemimpinan generasiku nanti, masyarakat kita memiliki pola pikir yang selaras dengan ini. Agar mereka tak meminta – minta lagi, agar tidak ada antrian sembako yang justru membuat mereka bangga ketika di shoting televisi, dan agar tidak ada masyarakat yang selalu dan selalu menjelek – jelekkan pemerintahan, atau bahkan yang namanya mahasiswa merusak gedung – gedung anarki ketika berdemo. Apa itu bukan sama saja dengan perusak!. Yang lebih miris, agar tidak ada lagi pengemis yang bertengger di perempatan di dekat universitas – universitas terkenal di penjuru dunia.

Apa? kau ingin menyalahkan Universitas – universitas yang ada didekatnya? Kau ingin menyalahkan universitas – universitas yang katanya go international, yang katanya research work dunia?

Aku, masa mudaku dulu juga seperti itu, aku menyalahkan kebijakan rektor, bahkan presiden aku salahkan. Tapi setelah aku mencoba menyelami apa yang sebenarnya terjadi, aku bungkam. Terdiam. Dan taukah kau, aku sempat stress selama satu minggu.

7 komentar:

Rinda mengatakan...

#njundhil-njundhil tanpa tak sampai.. (terlalu tinggi...aku kemlakaren dalam mencernanya.. Hehe).

peace, mas..
Keren kok.
Aku pengen kenalan sama si tukang bakso itu. (Lhoh?)

itheng mengatakan...

hahaha...ada ade aja....makasih dah koment rind...entar kenalan ma tukang baksonya trus minta bakso gratiasan...

sofan mengatakan...

cerita yg sangat dalam maknanya..semoga kita bisa mengambil hikmah dari cerita si itheng di atas..thanks bro

itheng mengatakan...

sofan--makasih mas....tetep semangat!!!dalam berkarya

Anonim mengatakan...

walah, tibakno dudu aku thok sing kenek calo nang bungurasih...kepompong kemiskinan yang membuat orang seperti itu, lah kl proyek pembangunan wisma atlet sea games, yang korupsi miskin ga ya?

itheng mengatakan...

nek itu belum bisa komentar aku mas, dan g mau komentar..karena digenerasiku...orang - orang seperti itu akan kami hilangkan dengan cara membentuk diri sendiri terlebih dahulu agar tidak seperti itu. karena aku yakin, saat ini banyak orang demo karena korupsi, tapi mereka demo karena belum merasakan godaan untuk berkorupsi..maka dari itu, aku mencoba malatih diri sendiri untuk tidak tergoda

Rinda mengatakan...

Antarkan aku untuk berkenalan dengan si tukang bakso... wekekekek