Total Pengunjung Blog

Pengikut

Popular Posts

Kamis, 26 Mei 2011

 

Surau Al-manar, Minggu, 15.30

Di bawah rindangnya pohon ringin pelataran Surau Al-manar kami berkumpul. Kami lelaki duduk melingkar, sedangkan yang wanita ada ditengah – tengah lingkaran itu. Nissa dengan kawan – kawannya saat ini sedang belajar menari. mereka menirukan gerakan gerakan yang dilakukan oleh kakak wahyuni. Terkadang kami, para pria tertawa karena melihat mereka kikuk menirukan gerakan.

 

Eka Ayuthaya Khanif putra….

kami para berandal punya kakak baru selain Kakak Kacang Ijo, Kakak Wahyuni namanya. Beliau adalah putra Bapak Daladi, pemilik sanggar tari di desa tetangga, Desa Nepi tepatnya. Berbeda dengan Kakak Kacang Ijo yang  terkadang galak, Kakak Wahyuni ini bisa dikatakan tidak bisa marah alias  lembut sekali. Suaranya hampir bisa di pastikan bagaikan bunyi hembusan angin, tak terdengar sama sekali. Kami para berandal lebih senang memanggil dia kakak Uni, dan  secara iseng nama itu aku pelesetkan menjadi Kakak Sunyi.

Ayuthaya….jika engkau tahu bagaimana kakak ini, pasti kau jatuh cinta seperti jatuh cintanya aku terhadap Kakak Kacang Hijau. Jika Kakak Kacang Hijau adalah orang yang mengajari kami untuk selalu bermimpi, selalu memiliki cita – cita, dan selalu berjuang untuk mengejarnya, maka Kakak Sunyi tidak hanya sekedar mengajari kami menari namun lebih mengajari kami tentang bagaimana kelembutan hati,  cara mencintai, dan pengorbanan diri. Namun,  bagiku, lebih dari itu,  dia adalah superheroku, pahlawanku. Pahlawan dalam setiap nafas hidupku saat ini.

***

Musim Panen tebu, bagi kami adalah waktu yang sangat mengasikan dan menyenangkan namun sedikit tegang. Kami para berandal surau Al – manar lebih suka menyebutnya tindak kriminal. Hahaha, Ya Ayuthaya…kami suka mengambil tebu dengan diam – diam diwaktu panen. Tentunya, kami lakukan tanpa sepengetahuan Kakak Kacang Ijo, sudah barang tentu apabila dia tahu, pastilah kami kena omelannya.

 

Waktu itu kami semua berencana untuk mencuri tebu, tapi bukan sembarang tebu, tebu ini spesial. Kata orang – orang yang pernah merasakannya, tebu ini adalah tebu paling enak, paling manis. Jika tebu biasa, manisnya habis saat beberapa menit di hisap, tebu wulung ini manisnya tahan lama. Kata Pak Hamid, tetangga kami, rasa manisnya seperti manis buah anggur, karena warnanya sama – sama ungu. Mendengar cerita itu, kami sangat ngiler, sangat ingin merasakan tebu itu. Namun, tebu ini hanya di tanam oleh satu orang di desa kami. Untuk mendapatkan tebu tersebut kami harus mencurinya di ladang milik Pak Sugali, Orang termisterius di Desa kami.Kabarnya, dulu Pak Sugali  adalah mantan dukun santet yang diusir dari desanya di Madura karena ketahuan sedang menyantet. Dia pergi merantau  setelah itu. Konon, matanya yang buta sebelah itu akibat mantra santetnya yang gagal. Konon pula, pernah ada anak desa sebelah yang ketahuan mencuri dan tertangkap, di pecut beberapa kali oleh beliau, mengakibatkan anak itu lumpuh beberapa hari. Pernah juga ada anak yang kepergok mencuri, dia lari, maka anak itu tidak bisa buang air besar sampai anak itu minta maaf ke Pak Sugali.

Sesungguhnya kami “kedher” mendengar cerita – cerita yang mengerikan dari Wahyu tentang Pak Sugali. Kami sempat mengurungkan niat, namun ternyata rasa ingin mencicipi sangat kuat. Wahyu yang tersadar bahwa ceritanya semenjak tadi  menyurutkan niat kami, berbalik menyemangati  untuk melakukan hal ini. “tenang cah!!!Ojo wedi karo Pak Sugali. Bukanne Kakak Kacang Ijo pernah ngajari awakdewe, yen kita ini harus mewujudkan keinginan kita, dimana ada keinginan yang kuat pasti ada jalan untuk mewujudkan. Dan inilah kawan, salah satu dalan kanggo mewujudkan!!!”. Pietek agak sempat menimpali, “tapi kan,Pak sugali pinter santet, piye wes nek awakdewe di santet?”. Aku yang tiba – tiba ingat kata – kata Kakak Kacang Ijo bahwa selama kita percaya kepada Allah, dan segala sesuatu harus diawali dengan doa, maka kita akan terhindar dari hal – hal semacam itu pun, “bukanne jare Kakak Kacang Ijo, yen kita masih yakin yen Gusti Allah iku ono, lan ora lali ndongo sek, kan santet kuwi ra mempan?”. Pietek pun masih menimpali,”tapi kan kita mencuri!, nyolong kuwi doso?”. Wahyu dengan elegannya berkata “tenang mamen, bukanne dosa yang tak terampuni itu hanya sirik, nah setelah kita selesai merasakan nikmatnya tebu wulung, kita harus lebih rajin Istigfar di Surau, mesti Allah ngampuni dosone awak dewe!”. Pietek pun akhirnya menyerah dan ikut kami.

 

Kami bertiga sekarang mengatur strategi kapan waktu yang tepat untuk mencuri  tebu. Selain itu, maksud tepat disini juga berarti tepat agar  Kakak Kacang Ijo dan berandal – berandal yang lainnya tidak tahu. Kami juga mulai merencakan survei lokasi dan mengamati di bagian mana ladang yang tak terlihat oleh Pak sugali dari Gubuknya sehingga dapat dengan mudah melarikan diri. Antisipasi jika ketahuan mencuri.

Setelah survei lokasi beberapa hari dan mengamat- amati kondisi sekitarkami memutuskan untuk mencuri pada hari minggu pagi. Di waktu minggu pagi itu, di Surau ada acara pengajian yang dihadiri oleh semua orang desa termasuk Pak Sugali dan Kakak Kacang Ijo. Kami berencana untuk melarikan diri dari pengajian.

Waktu yang ditunggu telah tiba, minggu pagi jam enam saatnya ber aksi mencuri tebu di ladang milik Pak Sugali. Mendung yang menutupi langit tak menyurutkan niat kami untuk mendapatkan bagaimana rasanya tebu wulung. Setelah kami berhasil meloloskan diri dari pengajian, kami berkumpul di bawah jembatan progo. Aku membawa Ladeng, Wahyu membawa golok, sedangkan pietek membawa pengikat yang terbuat dari bambu untuk mengikatkan tebunya nanti di masing – masing sepeda. Tidak banyak tebu yang akan kami curi, hanya 15 lonjor saja, cukup bagi kami untuk merasakan manisnya tebu wulung. Aku sendiri, menggunakan sepeda Jengki milik Kakak Fatimah, sedangkan Wahyu dan Pietek berboncengan menggunakan sepeda onthel zaman penjajahan milik Mbah Dolah, simbahnya Wahyu. Setelah berdoa kami bersepeda menuju ladang Pak Sugali. Di tengah jalan, kami melihat Pak Sugali mengenakan baju koko putih sarung tapis dan peci   menuju Surau. Melihat Pak Sugali terburu – buru mengendarai sepeda, kami pun merasa berhasil dan sukses, karena  Pak Sugali pergi di pengajian sesuai prediksi. Hingga akhirnya kami pun dengan santai melakukan aksi. Benar juga, diladang tebu suasananya sepi. Kami tersenyum, membayangkan bagaimana rasanya menikmati tebu ini. Segera kami “papras tebu wulung itu”, kami tali di sepeda kami secara searah (mlantang) dengan sepeda kami. Wahyu yang merasa santai dengan kepergiaan Pak Sugali pun tidak segan – segan  mengupas tebu wulung itu di tempat. “wah….pancen top tenan tebu iki, bener..bener..!!rasanya koyo anggur!!”. Pietek yang takut pun berkata, “ayo….gek mlayu!!!aku wedi!!”. Tapi Wahyu malah santai, lebih santai dan memberikan tebu itu ke Pietek dan aku. Aku yang memang benar – benar ingin merasakan pun meraihnya. Memang benar, tebu wulung itu adalah tebu yang paling ulung enaknya. Tapi Pietek membuangnya dan segera meraih sepeda,”Ayo…cepet!!aku wegah ketahuan!!”. Wahyu menarik menggondeli sepedanya,”santai to…Pak Sugali nang pengajian!!”. “Iyo…tapi iso engko to , ora nang kene le ngrasake tebu ne!”. Pietek tetep memaksa entah siapa yang memulai tapi kini mereka berdua menjadi setengah beradu mulut. Tak ku pedulikan adu mulut mereka, aku hanya tahu betapa nikmatnya tebu ini, setiap hisapannya selalu mengena di lidah.

AKu terperangah, kini mereka sudah tidak beradu mulut lagi, tapi sudah bergulung – gulung berkelahi. Entah….siapa yang memulai!!.”he he he, opo iki!!Kok malah gelut!, uwis..uwis..jangkrik kabeh!!”. Aku ikut pergumulan itu, hingga kami bertiga bergulung – gulung di tanah. Tak peduli lagi tebu – tebu yang ada di sepeda kami. Tak punya lagi rasa waspada. Kami bergulung – gulung dan terus bergulung, aku bahkan ikut – ikutan terkena tonjok Pietek. Aku yang terpancing emosi, segera membalas tonjokan Pietek. Namun ternyata wahyu yang posisinya dibawah berusaha mengubah posisi dengan menonjokku. Aku pun menonjok wahyu. Hingga kami akhirnya tonjok – tonjokkan dan berhenti karena kelelahan. Pakaian kami kotor semua kena tanah yang tercampur dengan embun rerumputan. Kami tertawa, tertawa lelah sambil memandang awan mendung. Meskipun kami habis berkelahi, di hatiku dan hati teman-temanku tak ada dendam. Kami berkelahi seperti lelaki jantan, tak ada dendam, karena dendam itu hanya milik setan. Setidaknya itulah yang di ajarkan Kakak Sunyi saat Annisa berantem dengan Putri berebut Sampur warna merah tua dengan Rendra mengkilap. Kata mereka, sampur itu bagus sekali jika dikenakan oleh kakak Sunyi terlebih saat  menggunakan baju warna merah tua dengan jilbab merah tua dimana jilbabnya juga ada liontin – lionting yang mengkilap mengikuti pinggir- pinggirnya.

 

Kami terkejut, dikejutkan oleh suara langkah yang sepertinya mendekati kami. Benar sekali, ternyata Pak Sugali telah berada di hadapan kami. “Berandal!!!!!!!!!!!!!!!!!”…teriaknya mirip dengan teriakan Gurunya Arai dan Ikal di Film Sang Pemimpi. Kami terkejut, kami segera berdiri dan berlari mengambil sepeda dan melarikan diri. Ternyata kami bisa lebih cepat dari Pak Sugali. Dari kejauhan Pak Sugali mengacung- acungkan tangannya. Kami dengan cepat mengayuh sepeda. Cepat- cepat sekali. Di pikiran kami tidak lagi memikirkan bagaimana menikmati tebu ini, tapi bagaimana cara melarikan diri. Belum lagi, memikirkan santet yang akan terjadi pada kami. Saking cepatnya, aku tak peduli lagi dengan jalan terjal menuju sungai progo. Kami tidak mengerem dan tetap nekat menuruni jalan terjal itu. Tiba – tiba saja, dihadapan kami ada belokan tajam dimana jika tak membelok kami akan nyemplung ke sungai progo. Benar saja, aku berusaha mengerem, tapi hendak apa dikata, kecepatanku sudah melebihi ambang batas rem. Aku gunakan rem depan, namun yang terjadi malah sepedaku terjorok kedepan dan aku terpelanting dari sepeda. “byur………!!”. Ingatanku kembali ke masa lalu dimana aku hampir mati karena tenggelam di Sungai ini. . Aku  yang sudah kehabisan nafas, tak mampu meminta tolong. Derasnya arus memutar – mutar tubuhku disamping aku muncul dan tenggelam. Lemas, tubuhku lemas sekali. Aku meminum banyak air baik dari hidung dan mulutku. Muncul , tenggelam, muncul tenggelam hingga akhirnya aku tak ingat apa yang terjadi, yang ada hanya gelap. Yang terakhir aku ingat, wahyu dan pietek berteriak minta tolong.

***

Eka Ayuthaya Khanif putra….aku tak mati,aku belum mati. namun sama seperti yang lalu, aku terbaring kaku, dadaku sesak dan di mulutku ada masker oksigen. Kali ini tidak di Gubukku. Kali ini hanya satu orang yang membaca al-qur’an untukku. Kali ini hanya satu orang yang menungguku.

 

Seluruh ruangan berwarna hijau. Panas sekali, ruangan ini sama sekali tak nyaman. Sakit membuatku hanya bisa diam dan merintih dalam hati. Masker oksigen yang membungkam mulutku mengingatkan aku akan santet yang mungkin saat ini menimpaku akibat merasakan tebu wulung itu. “neng endi aku kak?”. Kakakku Fatimah anwar yang sejak tadi membacakan yasin untukku segera membelai lembut kepalaku. “Istirahat dulu theng, ojo ngomong sek!”. Tubuh lemas ini memaksa aku tertidur lagi. Ku memasuki masa lelapku hingga ku terbawa dalam alam mimpi.

 

***

 

Wajahnya  bersinar, tersenyum kepadaku. Jilbab merah yang dipinggir- pinggirnya di hiasi oleh liontin membuat senyum yang ia tujukan kepadaku semakin mempesonaku. Baju merah tua penuh rendra menampakkan jati diri seorang wanita. Kali ini ia menggunakan rok merah pula yang ada lekuk – lekuk rendra di tepi bawahnya. Ia mendekat, semakin dekat dengan pembaringanku, pipinya merah merona serasi dengan bunga anggrek yang ia bawakan untukku. Sangat lembut, ia menatapku, mendekatkan wajahnya ke wajahku, mengecup keningku lalu mendekatkan bibirnya ketelingaku. Dia berbisik kepadaku dengan lembut,

“Itheng, aku pergi dulu ya. Sampaikan salamku ke Nissa dan kawan- kawannya. Ku didik mereka menari, bukan untuk menghambat mereka dari kewajiban seorang wanita, namun kuajari mereka mengenal budayanya. Budaya yang dalam setiap langkah dan geraknya memiliki makna bersahaja. Tari ini tidak hanya sekedar berlenggak lenggok mengikuti alunan tabuh, namun dalam setiap sentuhannya memiliki makna kelembutan dan kehormatan seorang wanita. Mengajari setiap wanita untuk berkodrat pada sebuah indahnya kelembutan  wanita, membentuk kepribadian yang seharusnya ada di dalam diri setiap wanita”.

***

Seminggu telah berlalu, dan hari ini aku sudah diperbolehkan keluar dari pembaringan. Anggrek yang menghiasi ruanganku menjadi hiburan satu – satunya. Melihat anggrek itu mengingatkan akan kecupan kening Kakak Sunyi untukku. Sudah tidak sabar aku ingin melihatnya lagi di Surau mengajari Annisa dan teman-temannya menari.

 

***

Ku menuju surau, disana para berandal telah berkumpul. Kali ini mereka menyambutku dengan pelukan – pelukan hangat. Kakak Kacang Ijo tersenyum sambil menjewer telingaku. Aku mencari – cari Kakak Sunyi, namun ku tak menemukannya. Barang kali dia datang terlambat.

Kali ini kami  belajar menyanyi nasyid. Kakak kacang Ijo mengajari kami nyanyian yang di nyayikan oleh Anggun Pradanti, penyanyi anak – anak terkenal di desa kami.

 

“Bekti karo wong tuwo iku kewajiban”

“kabeh pro konco kudu, tansah kelingan”

“wiwit cilik digudang, dadi cah pinter”

“kareb bisa netepi, dalan kang bener”

 

Ayo sopo gawene mbantah

ulat peteng sholah pratingkah

ora keno diterus aku, mengko geton

ngetke mburine…

 

kangjeng nabi ngendiko

iku kewajiban

wani karo wong tuwo keparingan dukan…

 

 

Setelah usai menyanyikan lagu ini, ku beranikan bertanya kepada Kakak Kacang Ijo dimana Kakak Sunyi. Tiba – tiba suasana jadi sepi, sunyi, sunyi sekali. Annisa mulai menangis, putri mulai menangis, Kakak Kacang Ijo memelukku.

Kakak Sunyi selalu mengamati kita dari atas sana, kita harus selalu gembira, termasuk kamu Itheng, Harus ingat selalu semua yang diajarkan Kakak Sunyi, dialah penyelamat hidupmu 

3 komentar:

Anonim mengatakan...

wah..kakaknya meninggal..hiks hiks..jadi sedih..

prim..prim mengatakan...

innalillahi..berarti...bunga anggrek itu dari siapa?? kok jadi ada cerita horornya....pesan buat kakak kcng ijo, hati2 dlm berpesan bisa disalahartikan/jadi pembenaran buat anak2 secerdas itheng, piethek, sm satu lagi siapa namanya lupa sy... kakak sunyi...knp singkat sekali mampir dicerita ini..ayo dihidupkan lgi...

Anonim mengatakan...

" kakak sunyi,aku belum menyelesaikan tariannya, ajarkan aku ketika kita bertemu lagi ya.."
(janji kelingking jari:))

salam,
jus wortel tidak enak ya