Total Pengunjung Blog

Pengikut

Popular Posts

Minggu, 15 Mei 2011

 

Perangainya lincah meskipun ukuran badannya kecil dan jilbab yang ia kenakan besar. Alam raya selalu menunduk, namun juga memuja disetiap kehadirannya. Jika telah berbicara, maka semua akan terdiam mendengarkannya, begitu pun mengaguminya. Lentik gerak mata dan bibirnya menandakan penghormatan sebagai kedewasaan. Segala aktifitas yang ia lakukan menimbulkan suatu kesan tersendiri, manfaatnya, fungsinya, dan faedah yang timbul dari aktifitasnya sungguh luar biasa.

 

Aku sangat suka perpaduan pakaian yang ia kenakan sewaktu mengajar ngaji. Terkadang ia menggunakan warna krem dikombinasikan dengan warna yang indah, cocok membalut dirinya. Namun yang lebih sering menggunakan jilbab hijau dengan baju yang jika tidak putih berbalutkan aksen batik hijau, maka baju terusan sampai kebawah  jelas menampakkan keanggunan. Mahadewi ini saat aku kecil sering ku jeluki  kakak kacang ijo.

 

cantik tidak terlihat dari luar, namun kedalaman kecantikannya benar – benar indah. Anggunnya tidak hanya penampilan, perilakunya membuat suatu dambaan. izinkan aku mengatakan dia sangat – sangat sempurna untuk seorang wanita.

 

Eka ayuthaya Khanif putra,

Aku jatuh cinta…kepada dia.

Bukan jatuh cinta secara sesungguhnya, namun jatuh cinta kepada segala pola pikir dan implementasi yang dia lakukan. Akan aku ceritakan kepadamu, ayuthaya, tentang mahadewi ini. Tentang wanita terinspiratif dalam hidupku, yang membuat diriku tertanam pola pikir nasionalisme sejak kecil. Dialah mahadewiku, mahadewi seluruh warga desa kami.

 

Mahadewi ini, ayuth!! Jika engkau tahu, ia adalah guru ngaji kami, guru ngaji anak – anak desa brosot di surau yang telah lapuk warnanya dan di dinding luarnya sering sekali menjadi rumah ulat bulu untuk bermetamorfosis. Usianya sebaya dengan kakakku, fatimah anwar. Ya, ia adalah sahabat karib kakakku, sahabat seperjuangan sekaligus juga musuh bebuyutan adenya,alias aku sendiri, hehehe. Sering sekali aku mengusilinya, dan sering sekali dia membalas usilku. Aku sering meledek dia “kakak kacang ijo” karena kepalanya yang saat berbalut jilbab hijau mirip sekali dengan kacang hijau. Sedangkan dia, dialah yang menjeluki ku cemani. Lengkap sudah jelukanku, itheng cemani. Jika kakakku berjuang demi kemajuan ilmu teknologi dengan berbagai penelitian yang memukau universitas dan tidak terkenal di desanya sendiri, maka “kakak kacang ijo” sekaligus mahadewi ini lebih berjuang untuk memunculkan orang – orang sekaliber kakakku, orang – orang yang berkualitas secara moral, susila, dan dien. Lebih jauh lagi, pendidikan kepemimpinan usia dini. Ia mengajari kami hal – hal yang tak kami dapatkan disekolah tentang arti sebuah rezeki, tentang arti sebuah pentingnya management waktu, tentang arti sebuah mimpi dan cita – cita.

Saat itu, desa kami sedang marak layang – layang. Kami, anak – anak Surau, usai mengaji, diberikan pelajaran yang nanti setelah dewasa, dapat dimengerti bahwa ini adalah suatu hal yang menyangkut tentang bagaimana cara kita mencari nafkah. Saat itu, Kakak Kacang Ijo melontarkan sebuah tantangan. Ia menyuruh kami untuk berkumpul dengan sebutan khasnya yang sangat kami senangi meskipun sesungguhnya buruk “Berandal- berandal, kumpulllll!!!”. Meskipun kami sering memberontak, namun jika ia yang menyuruh kami untuk berkumpul, maka kami akan segera berkumpul. Wahyu, si Tonggos yang diawal cerita lalu aku ceritakan di culik buto cakil pun segera menyambut “siap kakak kacang ijo, anggota lengkap, lima belas orang, tidak genap karena ganjil, namun tidak kurang!!”. Kami semua tertawa kocak mendengar celotehnya. Setelah kami kumpul, maka kakak kacang ijo segera berkata, “permainan minggu ini, kita akan membuat industri layang – layang”

mendengar kata industri, bayangan kami melayang ke pabrik tahu milik simbah marsono. Namun ternyata kakak kacang ijo mampu menebak pikiran dangkal kami. “Berandal – berandal, kita tidak akan membuat Tahu!!!, kita akan membuat layang – layang!!”. Hahaha…tawa kami pun bergemuruh di surau kecil lapuk berdinding ulat bulu. Aku pun dengan sok – sok an berdiri sambil menepuk – nepuk dadaku sendiri berguman, “rungok no aku, aku ini, jagonya gawe layangan, simbahku uwis nglatih aku pitung dino pitung wengi, kanggo jopa japu wacanan qur’an, layangan sing tak gawe di jamen langgeng!!!, Aku mencalonkan diri, dadi ketua pemimpin layangan!!, ojo sebut cemani, yen aku gagal gawe layangan langgeng!!”. Tepuk tangan diantara teman – temanku bergemuruh. Aku sambil kembagus, segera menyeka rambut  di dahi ku yang nonong dan pura – pura sok cakep, caper menantang kakak kacang ijo. semua terpingkal – pingkal melihat gayaku. Namun, tawa itu segera selesai, setelah SI Pithek, tetanggaku ikut – ikut berdiri dan bergaya tak kalah wah nya dibandingkan aku. “Meneng kabeh, meneng – meneng!!…Aku ora setuju cemani dadi pemimpin”. Semua diam. Tegang, takut!! karena sepertinya ada persaingan perebutan pemimpin. Aku pun juga sudah memanas mendengar itu. ku timpali dia, “ngopo???. sambil mataku melolok matanya. “ Aku ora setuju, yen aku ora dadi kepala bagian bahan baku, kabeh bahan baku kudu seko tempatku, empringku kualitas nomor siji sak ndeso, pring wulung tandurane bapakku”. Semua berteriak huuuuu………….. Aku pun menjitak kepala si Pithek. Itulah kami, Ayuth! Sejak kecil, kami telah dilatih untuk saling mendukung dan berani mencalonkan diri sebagai pemimpin. Ini berkat kakak kacang ijo.

 

Cerita tak berhenti sampai sini. Setelah aku membagi tugas kepada teman-teman lainnya, maka minggu ini kami telah menentukan target untuk membuat tiga puluh layang – layang. Sangat mudah membagi tugas kepada teman-teman lainnya Ayuth, bukan hal yang sulit, karena kami, anak – anak surau telah dilatih oleh kakak kacang hijau untuk menjalankan perintah pemimpin, dan yang memimpin pun telah diajari bagaimana bijaksana membagi tugas serta terlibat dalam tugas itu.

Tiba saatnya untuk menjual layang – layang ini ke anak – anak di luar desa kami dan teman-teman sekolah kami. Inilah luar biasanya mahadewi ini Ayuthaya. Dia mulai mengajari kami yang sewaktu besar orang - orang sering menyebutnya penghasilan harian. Dia mengajari kami bukan untuk menjual layang – layang ini dalam waktu yang cepat. Namun ia mengajari kami menjual layang- layang ini dalam tempo waktu bertahap agar masih ada waktu hari ini untuk hal lain, dan waktu hari esok untuk mendapatkan rezki lagi. Engkau kurang paham? Begini Ayuthaya! Saat ini, banyak sekali orang – orang yang mati – matian bekerja membanting tulang sampai lupa waktu dan menyisihkan waktu untuk keluarganya, beribadah, mencari ilmu lain, mengasah kemampuan dan keahlian lainnya, serta memberikan hal – hal yang bermanfaat bagi sekitar. Itu semua demi uang!!!Itulah yang aku sadari, dari cara Kakak kacang ijo ini mengajari kami, bahwa rezki itu akan selalu ada untuk kita, dan janganlah habiskan waktu kita hanya untuk mencari harta sehingga kita kehabisan waktu untuk hal penting lainnya. Mungkin, saat kau baca ini engkau tak akan merasakan, namun ingatlah hal ini saat engkau nanti telah bekerja.

 

Oh iya, Ayuthaya…kamu ingin tahu kenapa kami disebut berandal – berandal??? Karena kakak kacang ijo sangat bangga terhadap kami, terhadap jelukan itu, kami pun bangga dengan jelukan itu, karena kami mendapat jelukan itu merupakan suatu kehormatan. Ya, kakak kacang ijo pernah berkata seperti ini, “ tetap jadi berandal ya!dan jangan jadi kutu buku!!karena berandal yang kreatif itu mengaplikasikan apa yang dia dapat di buku dan kutu buku itu ya tahunya cum...a teori buku!”.

Ya, kami adalah para berandal yang selalu mengaplikasikan apa yang telah kami peroleh dari buku, begitulah paling tidak kakak kacang ijo ini mengatakannya.

 

Mahadewi itu kakak kacang ijo, inspiratifku

***

Lebih dari pengajar dan pendidik bagi kami, itulah mahadewi ini. Dengan balutan besar nan anggun yang menutupi tubuh mungilnya tidak membatasinya untuk bersosialiasi dan memberikan kemakmuran terhadap warga desa kami. Sungguh, dia adalah titisan bung Hatta. Hatta wanita, ketika aku dewasa membaca profil Bung Hatta. Betapa tidak!!Betapa tidak kucetuskan jelukan itu kepadanya, Karena ternyata, saat aku belum mengenal Hatta, saat aku belum mengenal konsep hatta mengenai ekonomi kerakyatan, dia telah mengimplementasikan konsep ini kedalam sendi- sendi desa kami. Betapa tidak!!! Ilmu yang ia bawanya setiap hari setelah membaca buku bawaan dari Kakakku, Fatimah anwar, segera ia implementasikan di desaku. Betapa tidak, kakakku yang tidak tahu  menahu mengenai hal ini saja, terbengong – bengong, jika ternyata buku nya dapat diimplementasikan didesanya. Dengan modal ember sepuluh literan, pengaduk yang ia buat dari bambu, serta bahan – bahan bubuk yang ia dapatkan entah darimana, mahadewi ini mulai memberikan kemandirian bagi kami. Ya, ia melatih Totok, pengangguran desa kami setelah lulus SMP, untuk memproduksi sabun cuci piring. Dengan pelatihan ini, desa kami mampu mencukupi kebutuhan sabun cuci piring dan tidak lagi menggunakan produk – produk milik industri besar. Perjuangannya tidak sampai disini, dia mampu melatih para penggangguran didesa kurang lebih sepuluh pemuda untuk membuat produk – produk yang mampu digunakan untuk kebutuhan pokok desa kami, seperti minyak goreng, sabun cuci, odol, sabun mandi, sampo, dan pupuk cair organik. Sungguh, luar biasa mahadewi ini.

Berkat Kakak Kacang Ijo, desa kecil, seperti desa brosot telah mampu mencukupi kebutuhan sehari – hari secara mandiri dan mampu meberikan rezki kepada para pengangguran.

 

***

Tragis, saat usaha – usaha yang di buat oleh warga desa kami mulai merambah beberapa desa lain, akhirnya usaha kami dihentikan oleh pihak pemerintahan. Pak Lurah pendukung usaha kami pun tak bisa berbuat apa – apa, karena prosedur Dinas Kesehatan yang harus mewajibkan produk – produk seperti ini memiliki nomer registrasi dan untuk mendapatkan nomer registrasi itu kami harus membuat badan usaha dan melakukan registrasi sampai ke Ibu Kota Jakarta.

 

Pucat pasi!! ya…!!!baru kali ini aku melihat wajah kakak kacang ijo, kakak mahadewi ini bereaksi begitu mendengar kabar ini. Mungkin di bayangannya sama dengan bayangan para pemuda yang mengerjakan dan memperoleh rezki tersebut. Jatuhlah setetes air matanya, hingga ia berlari tanpa menghiraukan panggilan Pak Lurah. Saat itu, kakakku, segera menyusul langkah gontainya. entah, aku sendiri, yang terbengong – bengong melihat peristiwa itu, tak mampu bergerak karena merasa kasihan dan sedih.

Dari mana aku mendapatkan uang untuk mengurus semua itu!!!!

 

Eka Ayuthaya Khanif Putra,

“kami pekerja keras, namun terkadang, justru negara inilah yang menghambat rezki kami sebagai pekerja keras. Kami pembuka lapangan kerja, namun justru negara inilah yang terkadang dengan peraturan – peraturannya menutup lapangan kerja”

 

 

****

Eka Ayuthaya Khanif Putra,

 

Namun Mahadewi itu, tidak menyerah begitu saja!!Mahadewi ini adalah pemberi senyum bagi warga kami, bagi warga desa kami. Kakak mahadewi itu bernama Prima Ayu Adityasari. Kakak hebat , kakak kacang ijo ku.

2 komentar:

Rinda mengatakan...

Kakak Mahadewi... Subhanallah.. :)

Anonim mengatakan...

ha ha ha, luar biasa! you amazed me with your wild imagination. go on my man! Ayuth kudu moco tulisanmu ngger lek wes gedhe