Total Pengunjung Blog

Arsip Blog

Pengikut

Popular Posts

Sabtu, 26 September 2009

Sungguh malam yang tak berbintang dan tak berbulan, gelap gulita. Sungguh siang tak berawan dan berhujan, terik panas menyengat. Dan sungguh realita tak aku ketahui pangkal serta ujungnya, menderita. Dan sungguh bahagianya jika aku mampu menuliskan cerita itu lebih panjang. Sungguh kan bermakna dan bermilik. Tapi lebih baik tidak mempunyai makna dan arti, daripada harus merusak privasiku.

Kalian tahu tentang penyakit Insomnia/sulit tidur? Siapa penderitanya ? apakah orang yang banyak pikiran Atau orang stress? Bagiku, bagi insomniaku, bagi penyakit sulit tidur dan bagi penyakit yang menyerangku malam itu, TERIMA KASIH. Aku tidak bisa tidur karena derasnya ide yang keluar dari dalam syaraf pusatku. Mungkin inikah insomnia. Saat ini efektorku sulit untuk berhenti, goresan demi goresan terjadi sebelum goresan tersebut ku masukan dalam mesin ketik. Terus mengalir, tulis, tulis, tulis, dan tulis. Sebenarnya aku sempat berpikir apa manfaat dari semua ini, tapi entahlah! Yang terpenting bagiku saat ini adalah menghilangkan kejenuhan dan melampiaskan semua ide kedalam tulisan. Aliran arus yang aku alami amatlah kuat. Semakin redup voltase mataku serta beratnya resistansi otakku berpikir maka semakin kuat arus yang mengalir melalui rangkaian tertutup syarafku. Deras,deras,deras, dan semakin deras seolah ingin menghanyutkanku kedalam lembah kata – kata. Bukan syair, bukan puisi, bukan segala hal tentang sastra. Hanya sebentuk hati.

——-********************——

AKU TERSIKSA oleh

“ PENYAKIT INI “

Saat aku ingin menulis tiada hal yang muncul sebagai inspirasiku, dan saat aku sedang memiliki “ penyakit Ini “berjuta ton timbunan akal menjatuhiku tanpa ada yang mampu aku masukkan ke dalam kantong saku otakku. Dan tentunya ku tak kuasa menahan “penyakit ini” sehingga timbunan itu berlalu di bawa truk sampah tanpa mampu aku pungut satu ons pun. Entah mampu kembali ataupun tidak tapi jelas saja SIAL.

Suatu sesal aku memiliki “penyakit ini”, tapi ku tak mampu menjadikan sesal tersebut menjadi hal untuk aku hilangkan, karena “penyakit ini” telah menjadi part dalam hatiku. Haruskah aku buang ke recycle bin agar aku mampu melupakan bagian diriku itu. Ah … tak semudah click kanan dan delete “penyakit ini” mampu hilang dalam otakku.

————-*******———–

Iya SAYANG, maaf aku tak berani bertatap muka denganmu seperti dulu. Bukan karena aku pengecut atau malah sudah tiada lagi ruang hati dalam dadaku yang mampu ku isi dengan cinta, bukan seperti itu SAY, kini aku kotor, hina, dan jijik layaknya nanah, tak mampu sabun tobatku menghilangkannya dan menjadikanku bersih serta lembut akan keharuman. Bukankah itu yang membuatMu sayang pada diri ini. Aku malu Say, padaMu, malu karena aku punya penyakit yang tiada keinginan untuk mengerang walaupun aku sakit.

Apakah aku mampu untuk membunuh target ? membunuh semua kerugian yang ada dalam diriku ini. Ku tak berani bertaruh karena aku bukanlah orang rohani yang dalam otaknya selalu tertanam bom dakwah tentang larangan dan perintah Sang Maha Penulis cerita, Allah SWT. Tetapi aku juga bukan manusia anjing yang tak memiliki akal sama sekali walaupun sedikit dalam genku tertanam sifat – sifat anjing.

Ah dasar sial, kenapa aku malah mengigau! Ku tampar wajahku sendiri penuh kebodohan. Memang seharian ini aku terus berpikir tentang hal yang akhir – akhir ini menimpa diriku “PENYAKIT INI”. Mereka menjadikan semua hal berantakan namun selalu saja ia mampu meredamkan kejengkelanku padanya. Sial dasar anjing. Bagaimana seharusnya ? apa aku harus membunuhnya ? seorang diri!uh… gila apa ! seorang diri! . tidak… tidak , kurasa aku tidak mungkin menghadapi “penyakit ini” seorang diri. Lantas,dengan siapa aku harus hadapi penyakit ini? Tiada satu nyawapun yang kumiliki untuk membantuku atau alat yang super mutakhir agar mampu mengeluarkan penyakit ini. Dokter! Memangnya penyakitku dapat di sembuhkan oleh dokter lulusan universitas, sangatlah mustahil walaupun dokter memberikan amoxicillin,lincomycin, ataupun obat – obat injeksi dengan dosis yang sesuai ditambah pula operasi.

Sebenarnya pokok permasalahanku hanyalah sepele,”penyakit ini” ya, penyakit ini.Apakah merugikan untukku, atau menguntungkan bagi diriku?biar… biar aku sendiri yang menjawabnya. Tapi? Itulah yang membuatku menjadi tak kuasa untuk membunuhnya, karena diriku yang satu sangatlah bangga memiliki penyakit ini bahkan ia sangatlah bangga dan selalu tersenyum menyambut kedatangannya. Ia pernah berkata, “Aku bersyukur atas rahmat Tuhan yang telah memberikan”penyakit ini” sehingga aku mampu menikmati masa mudaku”. Beruntunglah karena tiap hal yang ada di lingkungan ini membenarkan pikiranku. Televisi, lingkungan, lokalisasi, internet, teman – teman dalam pergaulanku yang cool men, dan juga tiada lagi kesedihan yang kurasakan tiap datang “penyakit ini”. Lingkungan sebagai tanah yang subur, pupuk televisi dan internet menjadikan penyakit ini tumbuh dengan cepat serta memiliki daun yang hijau ataupun akar yang kuat. Ditambah lagi tempat – tempat berbau negatif dan teman – teman membuat penyakit ini cepat perkembangbiak bagaikan dunia informasi. Akan ku sembah kau wahai “penyakitku” yang menjadikan aku berada di surga. Tak perlu mati teman!

Dalam setiap suara jantungku, terdapat seorang lagi yang selalu saja membuat aku ganjil, dialah aku yang selalu bersemayam dalam diri dengan hal yang sering di sebut – sebutnya DIEN. Diriku serasa sakit apabila Penyakit ini telah berhasil memberikan luka padaku. Sungguh bukan main sakitnya, ku tak mampu ungkapkan secara mendetail di mana bagian yang paling sakit. Tanganku seakan tak mampu bergerak, kakiku membisu untuk melangkah serta mulutku seakan tak kuasa menahan ludah jijik, koordinasi hidung, jantung, dan organ – organ dalamku pun tak mampu berjalan dengan normal. Hal yang bisa aku lakukan saat itu hanyalah menyesal seraya berjanji akan mengobati penyakit ini. Tapi hanyalah janji saat itu saja, karena tiada rasa sesal lagi setelah itu, Kenapa ? karena aku hanya ada dalam buih penyakit ini. Tak mampu ku melarikan diri dari buih yang seketat LP Nusakambangan. Aku hanya mampu menikmati kehancuran hati layaknya Jeroan ayam yang terlindas mobil tadi pagi itu.

Tapi diam – diam aku yang menuhankan Penyakit ini menaruh simpati pada diriku satunya walaupun aku harus cepat – cepat menjerengnya di tiang gantungan, ia lebih rela ada dalam buih daripada bersamaku mengeyam surga penyakit ini. Sungguh teguh kepercayaan yang ada dalam dirinya, sungguh sia – sia ia memiliki keteguhan ini karena ia tak mampu menikmatinya. Ia lebih rela bertanam cambuk di punggungnya dari pada menjual hal yang sering disebutnya IMAN.

————*******—————

Tiba – tiba saja aku berkeliat untuk mengulangi menjawab pertanyaan, apakah aku harus membunuh penyakit ini ?

Dalam setiap sensorik otak, dalam kehidupan yang ada dalam raga, dalam perjalanan mulut, dalam sebuah kenyakinan, mereka selalu berkelahi tanpa tahu siapa yang akan mati terlebih dulu.

Hati, tempat hidup dua orang yang saling bertentangan. Hati, tempat pengendali ragaku agar aku menghancurkan dien nurani. Hati, benteng pertama dan utama dalam mengendalikan penyakit ini. Agar aku tak boleh lepas dalam bayang – bayang yang menjadi bahan bakar utama penyakit ini. Akan tetapi, apakah aku mampu untuk mengendalikannya agar produksi api dosa dalam hari – hariku berhenti. Sial! Aku terjebak dalam satu pertanyaan yang tak perlu aku jawab. Jika aku mampu mengendalikannya, maka processor dalam ujung tubuh ini akan mengubah keseluruhan menjadi putih bersih.

************************************************************************

Sungguh malam yang indah karena berbintang dan bersinar bulan, cantik penuh tawa. Sungguh siang yang sejuk karena berawan dan membiru tak berhujan, enak dipandang dalam ketenangan. Dan sungguh realita, hanya Allah SWT yang mengetahui pangkal serta ujungnya, istiqomah. Serta sungguh bahagianya jika aku menuliskan cerita ini lebih panjang. Sungguhkan bermakna dan bermilik. Tapi lebih baik sampai disini,makna dan artinya, berikan keindahan tanpa merusak estetika. Privasiku, tetap privasiku.




0 komentar: